Kamis, 22 September 2011

Kasus Busung Lapar di Indonesia


Busung lapar atau Honger Oedema, penyakit yang disebabkan cara bersama atau salah satu dari simtoma marasmus dan kwashiorkor adalah sebuah fenomena penyakit di Indonesia. Penyakit ini bisa diakibatkan karena kekurangan protein kronis pada anak-anak yang sering disebabkan beberapa hal, antara lain anak tidak cukup mendapat makanan bergizi, anak tidak mendapat asuhan gizi yang memadai, dan anak mungkin menderita infeksi penyakit.
Penyebab langsung penyakit tersebut bisa dikarenakan adanya bencana alam, daya beli masyarakat, tingkat pendidikan, kondisi lingkungan, maupun pelayanan kesehatan yang tidak memadai.
Sungguh ironis jika dari beberapa variabel indikator penyebab busung lapar tersebut, gizi dan asuhan gizi yang memadai tidak tersentuh pada penderita, bila dilihat dari kondisi geografi Kerinci, daerah potensi pertanian, dapat dikatakan Bogornya Provinsi Jambi, memiliki lahan yang sangat subur, dapat ditanami berbagai aneka ragam sayuran, produksi beras, memiliki potensi wisata, dan memiliki sumber daya manusia yang potensial, namum dibalik potensi itu semua, sebuah kenyataan real telah terjadi di daerah ini, seorang anak bangsa meninggal dunia karena sebuah penyakit busung lapar.
Busung lapar bukan suatu kondisi yang terjadi begitu saja, seperti gempa, tetapi diawali dengan gizi buruk, kondisi yang terjadi melalui proses bertahap dari satu tahun sampai lima tahun, kondisi ini dibiarkan berlarut-larut sehingga berakibat terhadap penyakit busung lapar, indikator penyakit ini dapat dilihat dari penurunan berat badan anak sejalan dengan perkembangan usianya, dengan retan waktu yang begitu panjang, penyakit ini sebenarnya bisa terdeteksi lebih dini, mungkin secara sederhana dapat dilakukan Pos Yandu yang ada dilingkungan rukun tetangga (RT).
Keberadaan Pos Yandu di lingkungan Rukun Tetangga (RT) seharusnya bisa menjadi ujung tombak didalam menanggulangi kasus ini, penyuluhan yang dilakukan petugas kesehatan bersama Ibu-ibu PKK RT akan sangat membantu sekali didalam memberikan pemahaman kepada ibu-ibu balita akan pentingnya gisi bagi putra putri usia 0- 5 tahun.
Kasus ini tentu membawa preseden buruk bagi daerah ini, sebagai ikon lumbung padinya Provinsi Jambi, ada hal yang luput dari pantauan pemerintah dan kepedulian masyarakat yang ada disekitarnya, pemerintah dan masyarakat seharusnya dapat mencegah terjadinya kasus ini, peran pemerintah dalam menyediakan layanan kesehatan yang memadai sangat diharapkan sekali, kepedulian sosial masyarakat juga dituntut aktif berperan dalam menanggulangi kasus ini.
Selama ini penangangan kasus busung lapar selalu kecolongan, telah terjadi tingkat kritis pada pasien, baru pihak-pihak terkait sibuk melakukan penanganan yang intensif, kasus ini seakan-akan kurang mendapatkan perhatian
serius dari pemerintah, tambah diperburuk dengan tingkat kepedulian masyarakat sesama warga dalam menanggulangan persoalan-persoalan kewargaan yang semangkin berkurang, kepedulian sosial sudah mulai menipis dari kehidupan pribadi kita, pola kehidupan konsumtif semangkin menonjol ditengah kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara, siapa lu dan siapa gue menjadi kehidupan yang lumrah, negeri ini mengalami degradasi ketauladan pemimpin dan figur pionir dalam melakukan suatu tindakan.
Para pemimpin negeri Indonesia yang kita cintai ini terlalu cepat melupakan janji-janji yang pernah diucapkan pada saat kampanye mencalonkan diri menjadi kontestan pemilihan pemimpin, mensejahterakan rakyat, sekiranya terpilih menjadi pemimpin negeri ini, bahkan mereka tidak segan-segan pada saat kampanye, menjadikan kasus persoalan kehidupan yang dihadapi masyarakat sebagai konsumsi politik untuk mencari dukungan politik dan simpatik masyarakat dalam memilih dirinya, dengan berbagai program-program kerja yang sistematis untuk melakukan pemberantasan kasus kemaslatan umat sampai tuntas, namum setelah terpilih penyakit lupa mereka kambuh kembali, program tinggal program, janji tinggal janji, kasus terus bergulir sejalan dengan perjalanan waktu.
Jika semua pemimpin terpilih dapat menempatkan posisinya masing- masing, serta menjalankan fungsi dan tugasnya sebagai pengendali sistem sosial dan ekonomi yang baik, tentu berbagai kasus yang dialami masyarakat akan bisa dieliminir sedemikian rupa, berbagai literatur menyatakan bahwa akibat kekurangan asupan makanan yang bergizi pada bayi dan anak balita adalah bagian dari lingkaran setan kemiskinan dan penyakit infeksi.
Kemiskinan mengakibatkan rendahnya tingkat pendidikan orang tua, buruknya lingkungan perumahan dan tidak adanya akses terhadap air minum dan sanitasi. Juga keterbatasan akses terhadap kebutuhan dasar lain dan pelayanan sosial termasuk pangan, kesehatan dan pendidikan.
Keberadaan orang lapar apalagi bayi dan anak balita busung lapar merupakan pengujian utama terhadap adil dan efektifnya sistem sosial dan ekonomi di sebuah daerah bahkan suatu negara. Demikian mendasar fungsinya, sehingga melalui sistem pangan masyarakat (produksi – distribusi – konsumsi) dapat dipakai sebagai jendela untuk memahami sebuah masyarakat.
Kelaparan yang diderita bayi dan anak balita di Indonesia jelas menunjukkan tidak adil dan efektifnya sistem sosial dan ekonomi negara republik Indonesia yang kita cintai ini.
Meninggalkan penderita gizi buruk merupakan bagian intropeksi bagi daerah-daerah lain untuk terhindari dari persoalan ini, daerah dituntut untuk memperhatikan kasus ini lebih serius, untuk wilayah Provinsi Jambi kasus ini hendaknya akhir dari penderitaan yang dialami oleh anak-anak, sudah saatnya pemerintah dan stekolder yang ada benar-benar memperhatikan variabel-variabel
yang berkoreklasi terhadap kasus busung lapar, pertumbuhan ekonomi harus terjadi semua level kehidupan masyarakat, birokrasi dunia perbankan harus dibuat sederhana mungkin, sehingga membuka peluang bagi masyarakat yang tidak memiliki jaminan harta untuk menikmati pinjaman uang untuk menambah modal usaha mereka dalam meningkat pendapatkan ekonomi, negeri ini harus dapat memunculkan M.Yunus, seorang peraih Nobel dalam bidang ekonomi, dari negara Banglades dengan proyek Bank-nya, miminjaman uang kepada masyarakat kecil untuk mengembangkan usahanya tanpa perlu memikirkan bunganya, inovasi-inovasi seperti itu harus dilakukan perbankan negeri ini.
Dikotomi pendidikan harus dihindari, masyarakat berhak mendapatkan pendidikan yang layak, penyaluran dana BOS harus benar-benar sesuai dengan visi dan misi dari tujuan dana Bos itu sendiri, penyimpangan dana Bos tersebut, bisa berakibat fatal terhadap kelangsungan dunia pendidikan. Kasihan anak-anak yang memiliki kemampuan akademis, namum tidak mampu dari sisi keuangan terputus pendidikannya karena masalah pendanaan, hak mereka dirampas, karena napsu sebagian kita dalam memperkaya diri sendiri.
Fasilitas kesehatan harus menjadi perioritas pemerintah, didalam memberikan servis kepada warga untuk dapat mendapatkan layanan kesehatan yang memadai, kesehatan tidak boleh berpihak kepada kemampuan seseorang saja, tetapi harus menyeluruh sebagai bagian dari penyelamatan hak hidup, semua aktivitas kesehatan yang berhubungan dengan masyarakat hendaknya berjalan dengan baik, dapat bekerjasama dengan masyarakat, selalu memberikan motivasi kepada masyarakat untuk menjaga kesehatannya.
Kita semua berharap kasus busung lapar dapat dihindari dari provinsi yang Jambi, malu rasanya bila kasus tersebut menjadi bagian dari daerah ini, semua daerah di proinsi Jambi memiliki potensi dijadikannya sebagai lumbung padi untuk pertahanan ketahanan pangan, tinggal sekarang bagaimana kita memanfaatkan potensi alam yang subur tersebut menjadi bagian dari penciptaan kehidupan yang sejahtera, pada akhirya kita ucapkan selamat tinggal busung lapar.

Pertanyaan : 
1. Faktor Apakah yang Menyebabkan banyaknya kasus busung lapar dan
gizi buruk di Indonesia ?
2. Sebutkan dan jelaskan beberapa konsep dan hubungan tentang berbagai
realitas social budaya yang terkait dalam kasus busung lapar di
Indonesia ?
3. Berikan Contoh konkret sosiologi dalam upaya mengatasi kasus busung
lapar di Indonesia ?
Jawaban
1. Pada kasus busung lapar banyaknya faktor yaitu : 
Busung lapar disebabkan oleh keadaankurang gizi karena rendahnya konsumsi energi dan protein dalam makanan sehari-hari mereka sehingga tidak memenuhi angka kecukupan gizi (AKG). Keadaan kurang gizi itu biasa disebut dengan kurang energi protein (KEP). Setiap individu tidak akan memiliki metabolisme yang normal apabila kebutuhan kalori (energi)-nya tidak terpenuhi. Sumber energi manusia adalah zat-zat gizi sumber energi seperti hidrat arang, lemak, dan protein. Kekurangan protein juga akan menurunkan imunitas terhadap penyakit infeksi. Sumber protein utama dari makanan adalah daging, ikan, telur, tahu, tempe, susu, dan lain-lain (umumnya lauk-pauk). Karena sistem imunitas tubuh itu sangat bergantung pada tersedianya protein yang cukup maka anak-anak yang mengalami kurang protein mudah terserang infeksi seperti diare, infeksi saluran pernapasan, TBC, polio, dan lain-lain.

Kurang energi protein dapat dikategorikan dalam tiga jenis yaitu ringan, sedang, dan berat. Busung lapar terjadi karena KEP berat atau gizi buruk. Seorang balita dikatakan mengalami KEP berat atau gizi buruk apabila berat badan menurut umur kurang dari 60% baku median WHO-NCHS ( Nutrition Child Health Statistic). Atau berat badan menurut tinggi badan kurang dari 70% baku median WHO-NCHS.

Defisiensi nutrisi mikro yang sering menyertai KEP berat atau gizi buruk adalah xerophthalmia (defisiensi vitamin A), anemia (defisiensi Fe, Cu, vitamin B12, asam folat) dan stomatitis (vitamin B, C).

www.suaramerdeka.com/harian
2. Kemiskinan mengakibatkan rendahnya tingkat pendidikan orang tua, buruknya lingkungan perumahan dan tidak adanya akses terhadap air minum dan sanitasi. Juga keterbatasan akses terhadap kebutuhan dasar lain dan pelayanan sosial termasuk pangan, kesehatan dan pendidikan 

      3.  Fasilitas kesehatan harus menjadi perioritas pemerintah, didalam memberikan servis kepada warga untuk dapat mendapatkan layanan kesehatan yang memadai, kesehatan tidak boleh berpihak kepada kemampuan seseorang saja, tetapi harus menyeluruh sebagai bagian dari penyelamatan hak hidup, semua aktivitas kesehatan yang berhubungan dengan masyarakat hendaknya berjalan dengan baik, dapat bekerjasama dengan masyarakat, dan selalu memberikan motivasi kepada masyarakat untuk menjaga kesehatannya.

Bagaimana Penanganannya ?
Kasus gizi buruk dan busung lapar terus meminta korban. Dua anak berusia di bawah lima tahun, Senin (06/06) dilaporkan meninggal akibat gizi buruk di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Dengan demikian, di NTT setidaknya sudah lima anak balita yang meninggal. Sementara itu, di provinsi tetangganya, Nusa Tenggara Barat, kasus busung lapar sudah merenggut 13 anak usia balita. Bagaimana busung lapar ini ditangani?
Susu gratis lewat posko
Sejak Januari lalu hingga sekarang, Rumah Sakit Umum Mataram sudah merawat 70 orang pasien busung lapar atau kekurangan gizi dan 10 di antara mereka meninggal dunia. Kepala staf medis RSU Mataram, Hananto Wiryo bahkan memperkirakan jumlah penderita busung lapar lebih dari itu, karena 30 persen pasien penyakit ini memilih pulang paksa lantaran tidak punya uang. Bukan bagi sang pasien tapi bagi keluarga yang musti menunggui di RS.
Bertambahnya jumlah pasien di pelbagai rumah sakit NTB, menurut Hananto, tidak diikuti oleh kesiagaan pihak rumah sakit. Bantuan pemerintah pusat maupun swadaya masyarakat terhadap penderita busung lapar, yang kebanyakan berupa sembilan bahan pokok, juga dinilainya tidak tepat. Ia malah mengusulkan agar bantuan itu lebih difokuskan pada pemberian susu gratis kepada balita, lewat sejumlah posko. Usulan ini menurut dia sudah diajukan pada gubernur setempat, namun belum mendapat tanggapan.
Hananto Wiryo: "Posko di sini membantu susu cair untuk semua anak harus diminum. Satu hari satu gelas saja semua. Bukan saja yang kena busung lapar. Mungkin yang mau busung lapar juga dikasih. Kalau ndak mereka jadi busung lapar. Selama enam bulan dikasih susu satu gelas seluruh balita, ya hilang busung lapar ".
Kejadian luar biasa di NTT
Kelaparan di NTB, yang oleh pemerintah sudah dinyatakan sebagai kejadian luar biasa (KLB), selain telah merenggut 13 nyawa anak balita, ada 655 anak balita lainnya yang memerlukan penanganan segera.
Sementara di NTT tercatat 66.000an lebih anak balita yang mengalami gangguan kekurangan gizi, marasmus, kwarsiorkor, dan busung lapar. Rinciannya, kurang gizi 55.000an orang, gizi buruk 11.000 orang, marasmus 122 orang, kwarsiorkor dan busung lapar enam orang. Pemerintah daerah NTT mengaku telah mengeluarkan dana sebesar Rp. 30 juta bagi 16 kabupatennya guna penangganan kasus busung lapar. Dana itu sengaja dibagi rata pada semua kabupaten provinsi, meski kasus busung lapar baru diketahui pada 12 kabupaten NTT.
Juru bicara Pemda NTT, Umbu Saga Anakaka menjelaskan, pembagian rata dana itu disebabkan pertimbangan gubernur, yang menilai bahwa semua kabupaten berpotensi kena busung lapar. Dana itu juga dimaksudkan bagi pelayanan kesehatan di masing-masing kabupaten. Gubernur juga meminta masing-masing bupati memprioritaskan masalah kesehatan di wilayah mereka dengan lebih menggalakkan peran pos pelayanan terpadu Posyandu dan kadernya, serta puskesmas keliling. Sejumlah instansi itu bertugas memberi penyuluhan kesehatan dan gizi kepada masyarakat serta pemberian makanan tambahan bagi anak-anak sekolah dan balita. Semua RS bahkan membebaskan biaya pengobatan.
Umbu Saga Anakaka: "Gubernur telah memerintahkan biro keuangannya agar membantu dana daerah yang terkena bencana agar kabupaten bisa mengatasi masalah kejadian luar biasa ini. Pemerintah Nusa Tenggara Timur telah menyediakan masing-masing kabupaten 30 juta untuk membantu penanggulangan ini ".
Jaminan pembebasan biaya pengobatan bagi penderita busung lapar juga diberikan oleh Menteri Kesehatan Siti Fadhilah Supari. Kebijakan itu bahkan berlaku untuk semua rumah sakit di semua provinsi dengan batas waktu yang tidak ditentukan.
Busung lapar di wilayah lain
Langkah ini merupakan bagian upaya darurat departemen kesehatan terhadap penyakit busung lapar yang terjadi di hampir seluruh provinsi di Indonesia. Pemerintah mengakui busung lapar juga terjadi di Sumatera Barat, Jawa Timur, Wamena-Papua, Buyat Sulawesi dan Nias, Sumatera Utara.
Siti Fadhilah Supari: "Jadi gini, kalau ada busung lapar masalah emergencynya masalah menteri kesehatan. Saya tugasnya mengobati orang busung lapar, yang kena infeksi paru dsb. Harus segera diobati, karena orang yang busung lapar cepat sekali kena infeksi. Rumah sakitnya harus gratis. Obat-obatannya telah kita sediakan. Kita tidak membatsi dalam sebulan dua bulan. Ini tidak tergantung bulannya, selalu ada kok. Itu memang harus rutin ".
Selain membebaskan biaya pengobatan bagi penderita busung lapar, departemen kesehatan juga telah menginstruksikan semua wilayah untuk mencatat dan melaporkan jumlah para penderita busung lapar kepada depkes. Namun, menurut Supari, hal itu sulit dilakukan, akibat adanya kebijakan otonomi daerah.
Pemerintah sangat lamban
Bagaimana respons masyarakat terhadap langkah pemerintah mengatasi gizi buruk? Lembaga Swadaya Masyarakat Rawan Pangan di NTT menemukan kasus gizi buruk anak sebenarnya telah mengemuka sejak tahun lalu, saat terjadi gempa di Alor. Yus Nakmofa dari LSM Rawan pangan NTT menilai pemerintah sangat lamban dalam menangani masalah gizi buruk. Kini semuanya telah terlambat, jumlah penderita semakin hari semakin banyak.
Yus Nakmofa: "Antispasi atau bantuan dari pemerintah bersifat sementara. Ketika kasus itu mencuat hanya dibantu dan setelah itu berhenti lagi saya kasih contoh banyak teman-temen LSM yang memberikan bantuan darurat dalam bidang kesehatan tapi setelah itu stop. Jadi belum ada program yang berkelanjutan. Ada beberapa hal yang kami temukan di lapangan, ada beberapa LSM internasional yang memberikan biskuit dan air mineral, untuk meningkatkan gizi anak-anak. Setelah itu kan berhenti, tidak mengelola potensi yang ada di wilayah tersebut untuk meningkatkan gizi anak-anak".
Bergantung pada pihak luar
Yus menyarankan sebaiknya pemerintah setempat menggunakan hasil pertanian daerah seperti kacang hijau dan beras merah ketimbang bantuan dari luar seperti biskuit. Menurutnya, para penderita busung lapar itu tersebar di Timor Tengah Utara, Timor Tengah Selatan, Kupang, Alor, dan Lembata. Yus Nakmofa khawatir jumlah penderita gizi buruk dan busung lapar akan bertambah menyusul krisis pangan dan air bersih akibat kemarau panjang di NTT. Kebanyakan penderita busung lapar juga tidak dapat berbuat banyak karena keterbatasan ekonomi. Mereka sepenuhnya bergantung pada bantuan pihak lain.

http://static.rnw.nl/migratie/www.ranesi.nl/arsipaktua/asiapasifik/gizi_buruk_busung_lapar050609-redirected

KASUS busung lapar yang menimpa anak balita di sejumlah wilayah tidak hanya menjadi keprihatinan para ahli gizi dan kesehatan, tetapi juga berbagai kalangan lain, termasuk artis, anggota DPR, dan ahli ekonomi pembangunan. Kasus yang menimpa generasi masa depan bangsa itu, di satu sisi, dilihat sebagai cermin kegagalan pemerintah dalam pembangunan kesehatan dan gizi masyarakat. Namun, di sisi lain, orangtua dianggap juga ikut berperan. Berikut komentar mereka. SitiFadilah Supari, Menteri Kesehatan
Kasus busung lapar di Nusa Tenggara Barat (NTB) masuk dalam kategori kejadian luar biasa (KLB). Tim Departemen Kesehatan telah dikirimkan ke provinsi itu untuk mengupayakan peningkatan surveillance atau pengawasan, memberikan makanan tambahan, dan mengobati yang sakit. Walaupun demikian, pemerintah daerahlah yang harus menangani dulu kasus itu. Kalau tidak mampu, baru pusat turun tangan.
Ada tiga penyebab busung lapar. Pertama, karena masalah ekonomi, yakni orangtua benar-benar miskin dan sedang mengalami paceklik sehingga tidak bisa memberikan makanan kepada anaknya. Kedua, orangtuanya bisa memberi makan, tetapi tidak mengerti bagaimana cara memberi makan dengan benar sehingga asupan gizinya kurang. Ketiga, anak ternyata menderita sakit yang tak sembuh-sembuh sehingga susah makan.
Pemerintah menganggarkan dana Rp 150 miliar untuk menanggulangi busung lapar, tak hanya di NTB, tetapi di seluruh Indonesia. Dana itu diberikan untuk memenuhi kebutuhan makanan pendamping air susu ibu bagi anak balita di seluruh Indonesia karena dikhawatirkan kasus seperti di NTB juga terjadi di daerah lain. (Gunawan Sumodiningrat, Ekonom)
Kasus busung lapar di sejumlah wilayah mencerminkan kekurangpahaman kita bahwa kita harus bersyukur atas rahmat Allah. Untuk bisa memenuhi kebutuhan sendiri, orang itu harus bekerja. Dalam kasus kelaparan, jika tak bisa menyelesaikan di dalam rumah tangga sendiri, selesaikan bersama masyarakat atau lingkungan sekitar, RT, RW. Jika tak bisa, dibawa ke desa atau kelurahan. Jika tidak bisa juga, ke kecamatan, ke kabupaten, provinsi, begitu seterusnya secara berjenjang.< p>
Jadi, pertama-tama harus diselesaikan pemerintah daerah karena mereka yang paling tahu kondisi masyarakat di daerahnya. Kan ada yang namanya musyawarah pembangunan desa yang menampung aspirasi masyarakat di daerah atau hubungan masyarakat dan pemda. Itu yang harus digerakkan. Baru kalau pemda tidak bisa menangani, diteruskan ke pemerintah pusat. Dan pemerintah pusat harus mendengarkan.
Dalam pembukaan UUD 1945 diatur peran pemerintah, yakni melindungi
warga negara, mewujudkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa.
Tetapi, pemerintah sendiri tidak akan bisa. Harus bersama-sama dengan masyarakat.
Itu hakikat musyawarah dan mufakat.
Pemerintah juga harus menyadarkan masyarakat, harus ada perubahan moralmental
untuk jangan bergantung pada pemerintah atau orang lain. Masa untuk
makan harus menunggu raskin (beras untuk rakyat miskin) atau mau sekolah
menunggu beasiswa dan mau berobat menunggu kartu sehat. Mereka harus
diberdayakan agar bisa memenuhi kebutuhan sendiri.
Kalau mengikuti mekanisme pasar, kemiskinan itu bukan kesalahan pemerintah,
tetapi kesalahan masyarakat miskin itu sendiri. Seharusnya kalau melahirkan anak,
harus menyiapkan juga lumbung pangan, tabungan, dan jaminan kesehatannya. Jadi
jangan dipaksakan kalau tidak mampu. Sebab, kalau tidak, itu namanya melahirkan
kemiskinan baru.
Di sinilah peran penting BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Nasional). Jika mereka tidak berdaya juga, pemerintah yang harus jeli melihat mana
yang benar-benar tak mampu dan harus ditolong. (Rieke Diah Pitaloka, artis p).
Busung lapar di NTB membuktikan betapa masih banyak orang Indonesia miskin dan
bahkan hidup di bawah garis kemiskinan. Ironi bertambah dalam mengingat NTB
lumbung padi di Kepulauan Sunda Kecil. Demikian pula hasil tambang emas di
Sumbawa dan budidaya mutiara di provinsi tersebut tidak menjamin pemerataan
kemakmuran bagi warga.
Kasus tersebut membuktikan tidak ada korelasi langsung antara kekayaan
alam dan kemakmuran warga. Daya beli masyarakat ternyata tetap rendah di
provinsi kaya sumber daya alam. Kondisi ini adalah gambaran kegagalan pemerintah
mengatasi kemiskinan. Ternyata janji kompensasi kenaikan harga BBM berupa
layanan bagi rakyat miskin tidak terbukti karena malnutrisi terus terjadi di manamana.
Bahkan, lebih memprihatinkan lagi kondisi NTB, di sana 20 persen anak balita
ternyata mengidap malnutrisi. Rakyat miskin dan ketidakpedulian penguasa adalah
momok yang mencekam. Berdasar data Bank Dunia, hampir 200 juta rakyat
Indonesia tergolong miskin dan sangat miskin karena berpendapatan kurang dari 2
dollar AS per hari.
Ini mengacu pendapatan mayoritas rakyat sesuai upah minimum regional
(UMR) yang hanya sekitar Rp 600.000 atau kurang dari 2 dollar AS per hari! Harus
ada perubahan kebijakan yang secara nyata langsung menyentuh penghidupan
rakyat miskin, terutama kesehatan dan pendidikan. Marissa Haque, artis
Dulu pernah ada program PKK (pendidikan kesejahteraan keluarga) yang langsung
menyentuh rakyat, tetapi kini terhambat akibat krisis politik dan ekonomi. Adapun
bantuan lembaga-lembaga dunia kerap kali mengalami birokrasi panjang di
Indonesia karena pelbagai hambatan termasuk dari partai politik.
Bahkan, di tempat tertentu seperti di Lembang, kaum ibu berswadaya
mengumpulkan uang hingga Rp 8 juta untuk menyelenggarakan imunisasi dan
program kesejahteraan. Di saat yang sama ada dana Rp 1,25 miliar dari WHO
(Organisasi Kesehatan Dunia) bagi mereka, tetapi harus melalui jalan berliku di
pemerintah untuk menyalurkannya.
Kasus malnutrisi yang terjadi merupakan paradoks karena 75 persen wilayah
Indonesia adalah laut dengan kekayaan di dalamnya yang seharusnya menjadi
sumber protein rakyat. Banyak bangsa lain memanfaatkan kekayaan laut untuk
mencerdaskan bangsa seperti dilakukan Jepang.
Namun, di Indonesia, laut dan kawasan pesisir justru dirusak. Nelayan tradisional dengan perlengkapan minim harus berlayar semakin jauh ke tengah karena kerusakan kawasan pesisir. Perlengkapan minim untuk mengarungi laut lepas mengakibatkan rendahnya tangkapan dan berujung pada semakin miskinnya mereka.
Padahal, ada potensi pemberdayaan perempuan pesisir seperti dilakukan oleh Grameen Bank di Banglades yang menghimpun perempuan miskin. Usaha mikro kecil-menengah dengan modal Rp 500.000 hingga Rp 1 juta yang mereka kelola bersama berhasil mengentaskan mereka dari jeratan utang dan membantu keluarga di saat para suami kesulitan melaut.
Memberdayakan perempuan marjinal dapat menjadi model solusi. Karena mereka-perempuan-takut dikucilkan oleh komunitas, secara otomatis perempuan lebih bertanggung jawab dalam mengelola keuangan. Sebaliknya kaum lelaki dapat dengan mudah menghamburkan uang yang seharusnya dialokasikan untuk kesejahteraan keluarga mereka.
Pemberdayaan masyarakat miskin ini dapat memberikan solusi simultan, yakni kesejahteraan dan langsung mengeksploitasi sumber protein untuk mencegah malnutrisi dalam hal ini kekayaan laut.
Menanggapi kasus ini, SBY (Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Red) harus segera bertindak. Saya sebagai oposisi akan terus mengontrol dan biarlah SBY tetap memimpin hingga lima tahun ke depan sehingga masyarakat bisa menilai serta tercipta budaya check and balance antara eksekutif dan oposisi. Dr dr Triono Soendoro, Pakar Kesehatan.
Pemerintah dari pusat sampai daerah, akademisi, hingga aktivis LSM kebanyakan berada dalam posisi "komunitas pengamat". Masalahnya, seberapa jauh sebenarnya "komunitas pengamat" ini bisa berempati terhadap "komunitas pelaku", yakni masyarakat miskin atau masyarakat yang bermasalah gizi buruk ini.
Kita mempunyai masalah kekurangan dana untuk dialokasikan bagi pelayanan kesehatan. Namun, satu masalah lagi berkaitan dengan anggaran ini sering dilupakan, yakni ketepatan sasaran alokasi dana kesehatan. Sasaran dan bentuk layanan ditentukan oleh komunitas pengamat, bukan oleh pelaku.
Dari sekian besaran anggaran pemerintah untuk kesehatan, siapa sebenarnya penerima dana itu dan dalam bentuk apa? Suatu sistem yang berfungsi sebagai kesatuan selalu memelihara keberadaan melalui interaksi antarbagiannya.
Patut dipertanyakan apakah benar-benar ada interaksi antara pemerintah, komunitas, dan masyarakat yang menjadi sasaran program kesehatan sebagai satu sistem. Jika melihat bagaimana kebutuhan masyarakat diidentifikasi dalam pola penyusunan program saat ini, interaksi itu kerap kali tidak terjadi.
Contoh parah, misalnya, pemerintah di daerah memilih membangun rumah sakit pusat di tingkat kabupaten yang lebih kasatmata dan dianggap lebih bergengsi daripada membiayai operasionalisasi puskesmas di desa-desa.
Masyarakat sering disisihkan dalam proses pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan. Padahal, sudah menjadi pengertian dasar dalam teori komunikasi dan interaksi bahwa penerima pesanlah yang menentukan apa arti pesan, receiver determines the meaning. Mudrajad Kuncoro, PeneliTI.
Ditemukannya kasus anak balita yang meninggal akibat busung lapar di Provinsi NTB tidak perlu ditanggapi dengan pernyataan yang reaktif. Itulah cermin potret buram rendahnya kualitas kesehatan dan gizi buruk, yang berakar pada kemiskinan struktural di daerah tersebut.
Menurut Wakil Kepala Dinas Kesehatan Provinsi NTB, anak balita yang menderita busung lapar mencapai 10 persen dari total anak balita. Dengan kata lain, sekitar 49.000 anak balita di antaranya menderita gizi buruk atau busung lapar. Secara nasional, persentase busung lapar yang menyerang anak-anak di bawah usia lima tahun di Indonesia diperkirakan delapan persen, atau sekitar 1,67 juta (Kompas, 28/5/2005). Tentu saja, ini merupakan pekerjaan rumah besar bagi menteri terkait dan pemda di daerah yang merupakan kantong-kantong penderita busung lapar.
Cerita sedih tentang fenomena busung lapar di tahun 2005 sebenarnya tidak begitu mengejutkan dan luar biasa apabila kita selalu menyimak perkembangan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). IPM, atau Human Development Index (HDI), merupakan indeks komposit yang dihitung berdasarkan rata-rata dari indeks harapan hidup, indeks pendidikan, dan indeks standar hidup layak.
IPM menggabungkan tiga indikator longevity sebagai ukuran harapan hidup, pengetahuan (knowledge) yang diukur dengan kombinasi melek huruf dewasa (berbobot tiga perempat) dan gabungan dari rasio pendidikan tinggi primer, sekunder, tersier bruto (berbobot sepertiga), dan standar hidup layak (decent standard of living) sebagaimana diukur oleh PDB riil per kapita dengan perhitungan paritas daya beli.
Pada tahun 1999 IPM Indonesia hanya 0,681, peringkat ke-105 dari 162 negara. Tahun 2003 malah makin merosot menjadi 112, dengan IPM sebesar 0,682. Peringkat ini di bawah negara-negara ASEAN lainnya.
Secara spasial, IPM antardaerah di Indonesia mempunyai disparitas cukup tinggi. Bahkan berdasarkan klasifikasi nilai indeks pada tingkat kabupaten/kota, sebagian besar daerah di Indonesia menunjukkan kategori "menengah bawah". Yang perlu diwaspadai adalah daerah dengan kategori IPM rendah, yang juga merupakan indikasi daerah yang merupakan "kantong-kantong" busung lapar dan kemiskinan di negeri ini. Daerah tersebut terutama adalah NTB, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Papua, dan Jawa Timur.
Fenomena busung lapar sebagai indikator kekurangan gizi yang berat adalah cermin masih rendahnya kualitas manusia Indonesia di daerah tersebut. Ini jelas bukan penyakit yang datang mendadak, tetapi suatu proses yang sudah lama. Oleh karena itu, solusinya harus terintegrasi dengan program pengentasan rakyat dari kemiskinan, termasuk dana kompensasi BBM, perbaikan gizi, peningkatan kualitas kesehatan, dan peningkatan daya beli kelompok miskin.
Sulit membantah bahwa otonomi daerah telah menunjukkan kegagalan pembangunan kesehatan di negeri ini. Departemen Kesehatan dan pemerintah daerah harus bekerja sama dengan Bappenas dan Departemen Keuangan dalam melancarkan "perang" terhadap busung lapar.

http://www.kompas.com/kompas%2Dcetak/0506/04/fokus/1793674.htm

Pengertian Sosiologi

Sosiologi berasal dari bahasa Latin yaitu Socius yang berarti kawan, teman sedangkan Logos berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini dipublikasikan diungkapkan pertama kalinya dalam buku yang berjudul "Cours De Philosophie Positive" karangan August Comte (1798-1857). Walaupun banyak definisi tentang sosiologi namun umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang masyarakat.
Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Sosiologi hendak mempelajari masyarakat, perilaku masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang dibangunnya.Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat di kontrol secara kritis oleh orang lain atau umum.

Sejarah istilah sosiologi

  • 1842: Istilah Sosiologi sebagai cabang Ilmu Sosial dicetuskan pertama kali oleh ilmuwan Perancis, bernama August Comte tahun 1842 dan kemudian dikenal sebagai Bapak Sosiologi.[rujukan?] Sosiologi sebagai ilmu yang mempelajari tentang masyarakat lahir di Eropa karena ilmuwan Eropa pada abad ke-19 mulai menyadari perlunya secara khusus mempelajari kondisi dan perubahan sosial.[rujukan?] Para ilmuwan itu kemudian berupaya membangun suatu teori sosial berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat pada tiap tahap peradaban manusia.[rujukan?] Comte membedakan antara sosiologi statis, dimana perhatian dipusatkan pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar adanya masyarakat dan sosiologi dinamis dimana perhatian dipusatkan tentang perkembangan masyarakat dalam arti pembangunan. Rintisan Comte tersebut disambut hangat oleh masyarakat luas, tampak dari tampilnya sejumlah ilmuwan besar di bidang sosiologi.[rujukan?] Mereka antara lain Herbert Spencer, Karl Marx, Emile Durkheim, Ferdinand Tönnies, Georg Simmel, Max Weber, dan Pitirim Sorokin(semuanya berasal dari Eropa).[rujukan?] Masing-masing berjasa besar menyumbangkan beragam pendekatan mempelajari masyarakat yang amat berguna untuk perkembangan Sosiologi.[rujukan?]
  • Émile Durkheim — ilmuwan sosial Perancis — berhasil melembagakan Sosiologi sebagai disiplin akademis.[rujukan?] Emile memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.
  • 1876: Di Inggris Herbert Spencer mempublikasikan Sosiology dan memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain.
  • Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yang menganggap konflik antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan masyarakat.
  • Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan, tujuan, dan sikap yang menjadi penuntun perilaku manusia.
  • Di Amerika Lester F. Ward mempublikasikan Dynamic Sosiology.

Pokok bahasan sosiologi

Pokok bahasan sosiolgi ada empat: 1. Fakta sosial sebagai cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berada di luar individu dan mempunya kekuatan memaksa dan mengendalikan individu tersebut.[rujukan?]

Contoh, di sekolah seorang murid diwajidkan untuk datang tepat waktu, menggunakan seragam, dan bersikap hormat kepada guru. Kewajiban-kewajiban tersebut dituangkan ke dalam sebuah aturan dan memiliki sanksi tertentu jika dilanggar. Dari contoh tersebut bisa dilihat adanya cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang ada di luar individu (sekolah), yang bersifat memaksa dan mengendalikan individu (murid).
2. Tindakan sosial sebagai tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain.[rujukan?]

Contoh, menanam bunga untuk kesenangan pribadi bukan merupakan tindakan sosial, tetapi menanam bunga untuk diikutsertakan dalam sebuah lomba sehingga mendapat perhatian orang lain, merupakan tindakan sosial.
3. Khayalan sosiologis sebagai cara untuk memahami apa yang terjadi di masyarakat maupun yang ada dalam diri manusia.[rujukan?] Menurut Wright Mills, dengan khayalan sosiologi, kita mampu memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi, dan hubungan antara keduanya. Alat untuk melakukan khayalan sosiologis adalah persmasalahan (troubles) dan isu (issues). Permasalahan pribadi individu merupakan ancaman terhadap nilai-nilai pribadi. Isu merupakan hal yang ada di luar jangkauan kehidupan pribadi individu.

Contoh, jika suatu daerah hanya memiliki satu orang yang menganggur, maka pengangguran itu adalah masalah. Masalah individual ini pemecahannya bisa lewat peningkatan keterampilan pribadi. Sementara jika di kota tersebut ada 12 juta penduduk yang menganggur dari 18 juta jiwa yang ada, maka pengangguran tersebut merupakan isu, yang pemecahannya menuntut kajian lebih luas lagi.
4. Realitas sosial adalah penungkapan tabir menjadi suatu realitas yang tidak terduga oleh sosiolog dengan mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir secara jeli serta menghindari penilaian normatif.

Ciri-Ciri dan Hakikat Sosiologi

Sosiologi merupakan salah satu bidang ilmu sosial yang mempelajari masyarakat. Sosiologi sebagai ilmu telah memenuhi semua unsur ilmu pengetahuan. Menurut Harry M. Johnson, yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, sosiologi sebagai ilmu mempunyai ciri-ciri, sebagai berikut.[1]
  • Empiris, yaitu didasarkan pada observasi dan akal sehat yang hasilnya tidak bersifat spekulasi (menduga-duga).
  • Teoritis, yaitu selalu berusaha menyusun abstraksi dari hasil observasi yang konkret di lapangan, dan abstraksi tersebut merupakan kerangka dari unsur-unsur yang tersusun secara logis dan bertujuan menjalankan hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori.
  • Komulatif, yaitu disusun atas dasar teori-teori yang sudah ada, kemudian diperbaiki, diperluas sehingga memperkuat teori-teori yang lama.
  • Nonetis, yaitu pembahasan suatu masalah tidak mempersoalkan baik atau buruk masalah tersebut, tetapi lebih bertujuan untuk menjelaskan masalah tersebut secara mendalam.
Hakikat sosiologi sebagai ilmu pengetahuan sebagai berikut.[2]
  • Sosiologi adalah ilmu sosial karena yang dipelajari adalah gejala-gejala kemasyarakatan.
  • Sosiologi termasuk disiplin ilmu normatif, bukan merupakan disiplin ilmu kategori yang membatasi diri pada kejadian saat ini dan bukan apa yang terjadi atau seharusnya terjadi.
  • Sosiologi termasuk ilmu pengetahuan murni (pure science) dan ilmu pengetahuan terapan.
  • Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan abstrak dan bukan ilmu pengetahuan konkret. Artinya yang menjadi perhatian adalah bentuk dan pola peristiwa dalam masyarakat secara menyeluruh, bukan hanya peristiwa itu sendiri.
  • Sosiologi bertujuan menghasilkan pengertian dan pola-pola umum, serta mencari prinsip-prinsip dan hukum-hukum umum dari interaksi manusia, sifat, hakikat, bentuk, isi, dan struktur masyarakat manusia.
  • Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang empiris dan rasional. Hal ini menyangkut metode yang digunakan.
  • Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan umum, artinya sosiologi mempunyai gejala-gejala umum yang ada pada interaksi antara manusia.

Kegunaan Sosiologi

Kegunaan Sosiologi dalam masyarakat,antara lain:
Sosiologi berguna untuk memberikan data-data sosial yang diperlukan pada tahap perencanaan, pelaksanaan maupun penilaian pembangunan
Tanpa penelitian dan penyelidikan sosiologis tidak akan diperoleh perencanaan sosial yang efektif atau pemecahan masalah-masalah sosial dengan baik

[sunting] Objek Sosiologi

Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan mempunyai beberapa objek.[3]
Objek material sosiologi adalah kehidupan sosial, gejala-gejala dan proses hubungan antara manusia yang memengaruhi kesatuan manusia itu sendiri.
Objek formal sosiologi lebih ditekankan pada manusia sebagai makhluk sosial atau masyarakat. Dengan demikian objek formal sosiologi adalah hubungan manusia antara manusia serta proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat.
Objek budaya salah satu faktor yang dapat memengaruhi hubungan satu dengan yang lain.
Pengaruh dari objek dari agama ini dapat menjadi pemicu dalam hubungan sosial masyarakat.dan banyak juga hal-hal ataupaun dampak yang memengaruhi hubungan manusia.

[sunting] Ruang Lingkup Kajian Sosiologi

Sebagai ilmu pengetahuan, sosiologi mengkaji lebih mendalam pada bidangnya dengan cara bervariasi.[4] Misalnya seorang sosiolog mengkaji dan mengamati kenakalan remaja di Indonesia saat ini, mereka akan mengkaji mengapa remaja tersebut nakal, mulai kapan remaja tersebut berperilaku nakal, sampai memberikan alternatif pemecahan masalah tersebut. Hampir semua gejala sosial yang terjadi di desa maupun di kota baik individu ataupun kelompok, merupakan ruang kajian yang cocok bagi sosiologi, asalkan menggunakan prosedur ilmiah. Ruang lingkup kajian sosiologi lebih luas dari ilmu sosial lainnya.[5] Hal ini dikarenakan ruang lingkup sosiologi mencakup semua interaksi sosial yang berlangsung antara individu dengan individu, individu dengan kelompok, serta kelompok dengan kelompok di lingkugan masyarakat. Ruang lingkup kajian sosiologi tersebut jika dirincikan menjadi beberapa hal, misalnya antara lain:[6]
  • Ekonomi beserta kegiatan usahanya secara prinsipil yang berhubungan dengan produksi, distribusi,dan penggunaan sumber-sumber kekayaan alam;
  • Masalah manajemen yaitu pihak-pihak yang membuat kajian, berkaitan dengan apa yang dialami warganya;
  • Persoalan sejarah yaitu berhubungan dengan catatan kronologis, misalnya usaha kegiatan manusia beserta prestasinya yang tercatat, dan sebagainya.
Sosiologi menggabungkan data dari berbagai ilmu pengetahuan sebagai dasar penelitiannya. Dengan demikian sosiologi dapat dihubungkan dengan kejadian sejarah, sepanjang kejadian itu memberikan keterangan beserta uraian proses berlangsungnya hidup kelompok-kelompok, atau beberapa peristiwa dalam perjalanan sejarah dari kelompok manusia. Sebagai contoh, riwayat suatu negara dapat dipelajari dengan mengungkapkan latar belakang terbentuknya suatu negara, faktor-faktor, prinsip-prinsip suatu negara sampai perjalanan negara di masa yang akan datang. Sosiologi mempertumbuhkan semua lingkungan dan kebiasaan manusia, sepanjang kenyataan yang ada dalam kehidupan manusia dan dapat memengaruhi pengalaman yang dirasakan manusia, serta proses dalam kelompoknya. Selama kelompok itu ada, maka selama itu pula akan terlihat bentuk-bentuk, cara-cara, standar, mekanisme, masalah, dan perkembangan sifat kelompok tersebut. Semua faktor tersebut dapat memengaruhi hubungan antara manusia dan berpengaruh terhadap analisis sosiologi.

Perkembangan sosiologi dari abad ke abad

Perkembangan pada abad pencerahan

Banyak ilmuwan-ilmuwan besar pada zaman dahulu, seperti Sokrates, Plato dan Aristoteles beranggapan bahwa manusia terbentuk begitu saja. Tanpa ada yang bisa mencegah, masyarakat mengalami perkembangan dan kemunduran.
Pendapat itu kemudian ditegaskan lagi oleh para pemikir di abad pertengahan, seperti Agustinus, Ibnu Sina, dan Thomas Aquinas. Mereka berpendapat bahwa sebagai makhluk hidup yang fana, manusia tidak bisa mengetahui, apalagi menentukan apa yang akan terjadi dengan masyarakatnya. Pertanyaan dan pertanggungjawaban ilmiah tentang perubahan masyarakat belum terpikirkan pada masa ini.
Berkembangnya ilmu pengetahuan di abad pencerahan (sekitar abad ke-17 M), turut berpengaruh terhadap pandangan mengenai perubahan masyarakat, ciri-ciri ilmiah mulai tampak di abad ini. Para ahli di zaman itu berpendapat bahwa pandangan mengenai perubahan masyarakat harus berpedoman pada akal budi manusia.

[sunting] Pengaruh perubahan yang terjadi di abad pencerahan

Perubahan-perubahan besar di abad pencerahan, terus berkembang secara revolusioner sapanjang abad ke-18 M. Dengan cepat struktur masyarakat lama berganti dengan struktur yang lebih baru. Hal ini terlihat dengan jelas terutama dalam revolusi Amerika, revolusi industri, dan revolusi Perancis. Gejolak-gejolak yang diakibatkan oleh ketiga revolusi ini terasa pengaruhnya di seluruh dunia. Para ilmuwan tergugah, mereka mulai menyadari pentingnya menganalisis perubahan dalam masyarakat.

Gejolak abad revolusi

Perubahan yang terjadi akibat revolusi benar-benar mencengangkan. Struktur masyarakat yang sudah berlaku ratusan tahun rusak. Bangasawan dan kaum Rohaniwan yang semula bergemilang harta dan kekuasaan, disetarakan haknya dengan rakyat jelata. Raja yang semula berkuasa penuh, kini harus memimpin berdasarkan undang-undang yang di tetapkan. Banyak kerajaan-kerajaan besar di Eropa yang jatuh dan terpecah.
Gejolak abad revolusi itu mulai menggugah para ilmuwan pada pemikiran bahwa perubahan masyarakat harus dapat dianalisis. Mereka telah menyakikan betapa perubahan masyarakat yang besar telah membawa banyak korban berupa perang, kemiskinan, pemberontakan dan kerusuhan. Bencana itu dapat dicegah sekiranya perubahan masyarakat sudah diantisipasi secara dini.
Perubahan drastis yang terjadi semasa abad revolusi menguatkan pandangan betapa perlunya penjelasan rasional terhadap perubahan besar dalam masyarakat. Artinya :
  • Perubahan masyarakat bukan merupakan nasib yang harus diterima begitu saja, melainkan dapat diketahui penyebab dan akibatnya.
  • Harus dicari metode ilmiah yang jelas agar dapat menjadi alat bantu untuk menjelaskan perubahan dalam masyarakat dengan bukti-bukti yang kuat serta masuk akal.
  • Dengan metode ilmiah yang tepat (penelitian berulang kali, penjelasan yang teliti, dan perumusan teori berdasarkan pembuktian), perubahan masyarakat sudah dapat diantisipasi sebelumnya sehingga krisis sosial yang parah dapat dicegah.

Kelahiran sosiologi modern

Sosiologi modern tumbuh pesat di benua Amerika, tepatnya di Amerika Serikat dan Kanada. Mengapa bukan di Eropa? (yang notabene merupakan tempat dimana sosiologi muncul pertama kalinya).
Pada permulaan abad ke-20, gelombang besar imigran berdatangan ke Amerika Utara. Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk, munculnya kota-kota industri baru, bertambahnya kriminalitas dan lain lain. Konsekuensi gejolak sosial itu, perubahan besar masyarakat pun tak terelakkan.
Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuwan sosial untuk berpikir keras, untuk sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi lama ala Eropa tidak relevan lagi. Mereka berupaya menemukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu. Maka lahirlah sosiologi modern.
Berkebalikan dengan pendapat sebelumnya, pendekatan sosiologi modern cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul. Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh. Sejak saat itulah disadari betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosiologi.